Nur Azizah
Kamis, 27 November 2014
Jumat, 21 November 2014
Selasa, 18 November 2014
Minggu, 09 November 2014
Rabu, 22 Oktober 2014
Selasa, 21 Oktober 2014
Makalah Pendidikan
MAKALAH PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya
makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di
Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari
14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14
dari 14 negara berkembang.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di
Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para
pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan
kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik
kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya
memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak
kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah
dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab
pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam
membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin
buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa
memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikantidak
mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di
Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan
hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja
sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia
sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan pendidikan dunia
(UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14
negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris
ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan
untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara
berkembang di dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada diperingkat
14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk
meningkatkan kualitaspendidikan. Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas
lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.
B. Pembatasan Masalah
Dari uraian di atas dilihat begitu kompleksnya
permasalahan dalam pendidikan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu Penulis
membatasi beberapa masalah dalam penulisan makalah dengan “Masalah-masalah
mendasar pendidikan di Indonesia, Kualitas pendidikan di Indonesia, dan Solusi
Pendidikan di Indonesia.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
Sesuai dengan pembatasan masalah di
atas, maka tujuan penulisan adalah untuk mengetahui masalah-masalah apa saja
yang terjadi pada pendidikan di Indoensia yang dillihat dari kualitas
pendidikannya semakin hari semakin menurun.
2. Manfaat
Dari penulisan ini diharapkan
mendatangkan manfaat berupa penambahan pengetahuan serta wawasan penulis kepada
pembaca tentang keadaan pendidikan sekarang ini sehingga kita dapat mencari
solusinya secara bersama agar pendidikan di masa yang akan dapat meningkat baik
dari segi kualitas maupun kuantitas yang diberikan.
BAB II
LANDASAN TEORI
Sebelum kita membahas mengenai permasalahan-permasalahanpendidikan di
Indonesia, sebaiknya kita melihat definisi dari pendidikanitu sendiri
terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,pendidikan berasal
dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran,
pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai
pengertian yaitu prosespengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran
dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional
Indonesia, peletak dasar yang kuat pendidkan nasional yang progresif untuk
generasi sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan pengertian
pendidikan sebagai berikut :
Pendidikan
umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak
boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan
hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras
dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di
atas, secara singkatpendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan
pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani,
dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
Pendidikan merupakan proses yang terus menerus,
tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat
manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini)
adalah subyek daripendidikan. Karena merupakan subyek di dalam pendidikan,
maka dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang
baik. Jika memperhatikan bahwa manusia itu sebagai subyek danpendidikan meletakkan
hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah
otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus
bebas untuk “ada” sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang
bertanggung jawab.
Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas
adalah adanya perubahan pada subyek-subyek pendidikan itu sendiri.
Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada perubahan dari tidak bisa
menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tetapi perubahan-perubahan
yang terjadi setelah proses pendidikan itu tentu saja tidak sesempit
itu. Karena perubahan-perubahan itu menyangkut aspek perkembangan jasmani dan
rohani juga.
Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat
dan martabatnya di dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam
lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya
mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari
kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan
kepribadian dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.
BAB III
PEMABAHASAN
A. Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan
menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami
“sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikanyang
seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya
seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan
manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang
ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan,
khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian
karenapendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain
tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang
seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang
merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi
adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang
sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai
macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat
dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali
dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan
istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang
menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan
tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri
dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa
dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung
industri. Itu berarti, lembagapendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga
produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang
dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh
banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang
top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire
(seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya
bank. Sistempendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta
didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai
pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi
pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi.
Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru
ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan
tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan
guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid
sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat
menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya
bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang
menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai
pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang
demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk
memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya.
Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena
yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia
tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah
kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung
dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di
Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini
telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang
ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud
anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak
kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikankita.
Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi
kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta
keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai
keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut
Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
- Faktor internal, meliputi
jajaran dunia pendidikan baik itu DepartemenPendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah,
dan juga sekolah yang berada di garis depan.Dalam hal ini,interfensi
dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa
selalu terjaga dengan baik.
- Faktor eksternal, adalah
masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan ikon pendidikan dan
merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek
daripendidikan.
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di
Indonesia semakin terpuruk. Faktor-faktor tersebut yaitu :
1. Rendahnya Kualitas Sarana
Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak
sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan
penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara
laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan
sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri,
tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai
untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003
yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian
dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru
di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada
umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa
memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang
memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya.
Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu
buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus
yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal
distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada
daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah
atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah
gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas
secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan
akademis, baik menyangkutpendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi
dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru
yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan
masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta
banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki.
Keadaan seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD,
SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di
Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan
situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung di
sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus
menanamkan budi pekerti kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah
hanya mengembangkan kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi
pekerti kepada para siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan
satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi,
pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi,
sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada
kualitaspendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan
pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat
kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru
mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.
Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan
pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada
sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang
pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen,
barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu
sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru
dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain
meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi,
dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan
tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak
atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru
swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta,
masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran
Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten
tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU
Guru dan Dosen.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu
(rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi
siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan
matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends
in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya
berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di
ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi
siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga
yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September
2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah
mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh
dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam
laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara.
Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada
jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut
Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the
Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa
keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah.
Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura),
65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya
mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali
menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin
karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third
International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999)
memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2
Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam
dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas
yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya
mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih
terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional
dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka
Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3
juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi
MurniPendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa).
Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan
sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan
dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi
Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari
banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak
tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU
sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada
periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing
tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data
Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan
tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan
tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan
kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional
terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia
kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal.
Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari
Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin
tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh
sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini
dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di
atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang
ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen
Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai
upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang
merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses
atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala
pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada
tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi
pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala
Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala
Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab
negara terhadap permasalahanpendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan
adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya
status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas
memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status
itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya
kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri
pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS
adalah beberapa contoh kebijakan pendidikanyang kontroversial. BHMN
sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa
Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya
peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan
kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia
sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong
privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar
seperti pendidikanmenjadi korban. Dana pendidikan terpotong
hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang
dialokasikan untukpendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang
menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah
memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan,
seperti Undang-Undang SistemPendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan,
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan
Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu,
misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuanpendidikan formal
yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah
dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan.
Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika,
10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasipendidikan berarti Pemerintah
telah melegitimasi komersialisasipendidikan dengan menyerahkan tanggung
jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya
sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan.
Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan
mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas
akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial,
antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat
ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan
agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara
donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU
BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikankelak
akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber
dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga
perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa
PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu
menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus
mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis,
Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi
yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang
menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang
tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi
persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang
berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperolehpendidikan dan
menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu.
Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab.
Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk
cuci tangan.
C. Solusi Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah,
seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru, dan lain-lain
seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
- Solusi sistemik, yakni solusi
dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan.
Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem
ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini,
diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme),
yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam
urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
- Solusi teknis, yakni solusi
yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan.
Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi
siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis
dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan.
Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan
kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas
guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan
kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan
sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi
tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari
keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM
tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Banyak sekali factor yang menjadikan
rendahnya kualitas pendidikandi Indonesia. Factor-faktor yang bersifat
teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik,
mahalnya biayapendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan
guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya
pemerataan kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah
mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikandi
Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia
yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi
kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah
dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahanpendidikan di
Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)